Pages

Senin, 02 April 2012


Sistem Budidaya Agroforestry – Agrisilvikultur di Dusun Manggis, Desa Sukorambi, Kabupaten Jember
1.Pendahuluan
            Indonesia merupakan negera agraris yang kental dengan kondisi pertaniannya. Namun sayang kondisi pertanian Indonesia sekarang dapat dinilai kurang sehat.  Indikatornya adalah kemelorosotan lingkungan dan produktifitas tanaman  yang sekarang marak terjadi. Hal ini merupakan buah dari aktivitas manusia yang mempekerjakan alam dengan sewenang-wenang. Hal ini begitu memprihatinkan,  dan akan bertambah luas dampak negatifnya jika tidak segera dipulihkan. Untuk memulihkan itu semua diperlukan suatu konsep pertanian yang efektif dan efisien untuk kemudian ditindak lanjuti dengan implementasi nyata di lapanagan.
Agroforestry  atau  wanatani merupakan bentuk konsep pertanain yang efektif dan efisien dengan jalan  pemanfaatan lahan secara  terpadu yang melibatkan beberapa komponen seperti komponen kehutanan, komponen ternak dan komponen tanaman pangan/ hortikultura atau musiman.  Sebenarnya agroforestry adalah ilmu lama yang sudah diterapkan oleh sebagian masyarakat kita, namun ketambahan teknik-teknik baru yang lebih sesuai dengan teknologi yang ada. Di lapangan bentuk-bentuk agroforestri tersebut sangatlah beragam, diantaranya adalah agrisilvikultur.
Agrisilvikultur merupakan bagian dari agroforestri dimana komponen yang terlibat didalamnya adalah komponen kehutanan (tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian pada umumnya (serealia, hortikultura,musiman,dll). Agrisilvikultur banyak dijumpai disekitar perkampungan dekat hutan, atau hutan yang baru sjaa dibuka. Dulunya kita dengan mudah menjumpai hal tersebut, namun sekarang jumlahnya sudah merosot drastis. Hal ini dikarenakan oleh laju alih fungsi lahan kehutanan dan pertanian menjadi perumahan yang sangat cepat. Sebagai upaya manusia tentu saja, agrisilvikultur memiliki keunggulan dan kekurangan.
Keunggulan agrisilvikultur adalah produktifitas total agrisilvikultur jauh lebih tinggi dibandingkan monokultur, mengurangi resiko kegagalan satu jenis tanaman karena akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen lainnya, dapat menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada penanaman satu jenis (monokultur). Dampak kelanjutannya adalah dengan diversifikasi yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, melepaskan petani dari ketergantungan terhadap produk luar sehingga tidak memerlukan banyak input dari luar. Selain itu, praktek agrisilvikutur yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani. Selain itu menurut Rossy Widayanti (2010) sistem agrisilvikultur juga dapat digunakan untuk mengelola hutan secara lestari pada suatu kawasan konsesi hak pengusahaan hutan sepanjang dalam kawasan hutan tersebut sesuai dengan karakteristik suatu sistem Agrisilvikultur. Menurut Moeliono (1987) dalam Yusnafi (2007) agroforestry termasuk agrisilvikultur dapat mencegah dan mengurangi erosi tanah serta meningkatkan kesempatan kerja. Sedangkan kekurangan dari sistem agrisilvikultur adalah fokus petani dalam budidayanya berpencar, tidak menutup kemungkinan memerlukan biaya masukan yang lebih tinggi dibanding monokultur, perlu perencanaan yang lebih matang dan mantap mengingat semakin beragamnya diversitas yang dilibatkan semakin besar kompetisi yang harus diperhitungkan.
2.Data
Data yang berhasil kami himpun bersumber dari wawancara kami dengan petani (Bpk. Hasan/ P. Qom) yang menerapkan Agrisilvikultur di dusun Manggis desa Sukorambi, Kabupate Jember. Agrisilvikultur yang dikelola melibatkan tanaman sengon laut, mahoni, pisang, kopi, kelapa, talas dan ketela pohon. Penjelasan selengkapnya terlampir pada lembar Skor indikator keberlanjutan Sistem Pertanian berikut foto-fotonya.
3. Pembahasan
Praktek budidaya petani yang bernama P. Hasan/ P. Qom di Dusun manggis, Desa Sukorambi tercatat sebagai salah satu upaya agrisilvikultur. Sebagai agrisilvikultur karena pada penerapannya sudah melibatkan komponen tanaman woody plant (sengon laut, mahoni, kelapa) dengan tanaman pangan seperti tanaman pisang, kopi, talas dan ketela pohon. Agrisilvikultur tersebut bisa ditanam bersamaan ataupun bergiliran dalam suatu periode dan menciptakan suatu interaksi ekologi, sosial, ekonomi. Agrisilvikultur tersebut sangat berpotensi untuk dilanjutkan kearah sistem pertanian yang berkelanjutan dengan perolehan skor 83. Hal ini karena pada intinya penerapan agrisilvikultur memiliki tujuan untuk meningkatkan produktifitas lahan, kesempatan kerja, pendapatan petani, dan juga upaya pelestarian sumber daya lingkungan seperti air, tanah dan diversitas hayati. 
            Di Indonesia agroforestri sudah ditawarkan sebagai salah satu sistem pertanian yang berkelanjutan. Namun dalam pelaksanaannya dilapangan tidak jarang mengalami kegagalan, karena pengelolaannya yang kurang tepat sebagaimana yang diutarakan oleh Mustofa Agung Sardjono, dkk (2003).  Selain itu pada agroforestri tepatnya agrisilvikultur yang salah pengelolaan justru akan menjadi faktor pembatas produksi. Berdasarkan penelitian SM Sitompul dan Djoko Purnomo (2004) pada hasil tanaman sistem agroforestri lebih rendah dibandingkan sistem naungan buatan. Perbedaan hasil tersebut disebabkan oleh minimnya pertimbangan akan kompetisi air, unsur hara, zat inhibitor dan lainnya yang mungkin terjalin diantara tanaman tersebut.
Ada beberapa indikator yang harus dipenuhi bilamana suatu agrisilvikultur hendak dikaitkan dengan sistem pertanian berkelanjutan. Indikator-indikator tersebut diantaranya indikator aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Diharapkan dengan terpenuhinya 3 indikator tersebut, suatu agrisilvikultur layak disebut untung secara ekonomis, ramah secara ekologis, dan sejahtera secara sosial.
            Tujuan dalam indikator ekonomis adalah untung (profit yang optimal).  Agrisilvikultur P. Hasan yang menjadi objek kajian kali ini sudah dapat digolongkan agrisilvikultur yang untung. Pada dasarnya fokus yang dibudidayakan disini adalah sengon laut dan mahoni. Outcome awal yang diperlukan adalah sekitar 500 ribu rupiah (biaya bibt lokal
+kuli tanam). Outcome lainnya sangatlah kecil karena lahan milik pribadi, digarap sendiri, dan tidak membutuhkan biaya perawatan. Sedangkan incomenya diprediksi Rp 12.000.000/5 tahun untuk sengon laut. Jika dihitung-hitung, pendapatan petani tersebut sekitar Rp 191.000/bulan. Angka yang cukup tinggi untuk luasan lahan yang hanya 200 mm2, dan hanya dijadikan sebgaai sumber pendapatan sampingan karena petani tersebut sudah memiliki pendapatan utamanya dari budidaya padi secara monokultur. Untuk mahoni belum pernah dilakukan pemanenan karena masih baru berusia 2 tahun. Untuk talas dapat menghasilkan sekitar 30 kg, dipasarkan dalam lingkup desa itu sendiri. Sedangkan untuk ketela pohon, kopi, pisang dan kelapa hanya dimanfaatkan secara subsisten untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri ataupun untuk keperluan antar tetangga bilamana sedang ada hajatan tertentu (kepentingan keluarga dan masyarakat disekitarnya).
            Secara ekologis, agrisilvikultur milik P. Hasan cukup ramah lingkungan. Penggunaan pupuk Urea  hanya satu kali disaat awal tanam  (1,5 bulan setelah tanam). Sumber air yang dilibatkan berasal dari air hujan dan sungai yang mengalir disekitar lahannya. Dapat dikategorikan membantu meningkatkan keragaman hayati, karena pada lahan agrisilvikulturnya ditanam berbagai jenis tanaman yang memungkinkan terciptanya suatu jaring-jaring makanan yang amat kompleks.  Masalah landscpape, menurut pengakuan dari pemiliknya tidak pernah sekali saja merubahnya, semuanya itu murni dari lancsape lahannya yang memang berteras-teras. Selain itu dalam prakteknya tidak diperlukan energi tambahan seperti listrik dan lainnya karena memang masih bersifat sangat tradisional. Begitu pula dengan benih sengon yang digunakan yang juga masih bersifat benih lokal dan dipasok dari penjual benih secar getok-tular dar mulut ke mulut.
            Ditinjau dari aspek sosial, minat petani untuk mengusahakan lahannya cukup tinggi. Meskipun si petaninya sendiri tidak terlalu memiliki kualitas pendidikan sampai pada tahap sarjana. Namun setidaknya petani tersebut aktif dalam solodaritas petani setempat yang bernama Sukorambi Jaya, buktinya adalah beliau dipercaya sebagai wakil dalam kelompok tani tersebut.  Menurut pengakuannya juga kondisi pertanian disana cukup aman dengan indikator tidak pernah ada masalah pencurian ataupun sengketa lahan. Selain itu respon maasyarakat ataupun konsumen dari produk kayu yang dia kelola juga dapat dikategorikan positif, dibuktikan dengan kerjasama yang harmonis antara beliau dengan pembeli kayunya. Hal ini mengindikasikan kepuasan konsumen yang cukup tinggi.
            Dari uraian itu semua, agrisilvikutur tersebut sudah menunjukan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan. Artinya agrisilvikultur tersebut memiliki modal yang memadai untuk terus dikembangkan mendekati sistem pertanian berkelanjutan yang lebih luas dengan tujuan akhir  masyarakat tidak lagi tergantung masukan komoditas pertanian dari luar serta terciptanya kedaulatan pangan disekitar daerah tersebut dengan pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya hayati yang ada, seperti diversivikasi makanan, tidak hanya bergantung pada beras namun sudah mulai melibatkan talas dan ketela pohon sebagai makanan pokok, pisang dan kelapa sebagai komponen buah, serta mahoni dan sengon untuk kebutuhan papan keluarganya atau masyarakat disekitarnya. 
4. Kesimpulan
            Agrisilvikultur adalah salah satu bagian dari agroforestri yang menggunakan lahan secara terpadu, mengkombinasikan tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis dan sosial antar berbagai komponen yang ada. Agrisilvikultur yang menjadi objek kajian kali ini menunjukan kemajuan sempurna kearah keberlanjutan.
5.Pustaka
Rossy Widayanti.2010.Agri-silvikultur dan Pesanggem di wilayah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Ngawi, Saradan dan Lawu DS.Tesis.Progam Pasca Sarjana, Progam studi Magister Manajemen Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Surabaya.
Sardjono, Mustofa Agung dkk,.2003.Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri Bahan Ajaran Agroforestry 2.Bogor:World Agroforestry Centre (ICRAF).
SM Sitompul dan Djoko Purnomo.2004.Peningkatan Kinerja Tanaman Jagung dan Kedelai pada Sistem Agroforestri Jati dengan Pemupukan Nitrogen.Jurnal Agrosains Vol 6 (2) hal: 79-83, 2004
Yunasfi.2007.Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan.Sumatra Utara:USU Repository.

1 komentar:

  1. bro nama aslix siapa, n judulx ini yg langkapx apa.? tolong d balas yah bro.

    BalasHapus