Sistem Budidaya Agroforestry – Agrisilvikultur di
Dusun Manggis, Desa Sukorambi, Kabupaten Jember
1.Pendahuluan
Indonesia merupakan negera agraris
yang kental dengan kondisi pertaniannya. Namun sayang kondisi pertanian
Indonesia sekarang dapat dinilai kurang sehat.
Indikatornya adalah kemelorosotan lingkungan dan produktifitas tanaman yang sekarang marak terjadi. Hal ini merupakan
buah dari aktivitas manusia yang mempekerjakan alam dengan sewenang-wenang. Hal
ini begitu memprihatinkan, dan akan
bertambah luas dampak negatifnya jika tidak segera dipulihkan. Untuk memulihkan
itu semua diperlukan suatu konsep pertanian yang efektif dan efisien untuk
kemudian ditindak lanjuti dengan implementasi nyata di lapanagan.
Agroforestry atau wanatani
merupakan bentuk konsep pertanain yang efektif dan efisien dengan jalan pemanfaatan lahan secara terpadu yang melibatkan beberapa komponen
seperti komponen kehutanan, komponen ternak dan komponen tanaman pangan/
hortikultura atau musiman. Sebenarnya
agroforestry adalah ilmu lama yang sudah diterapkan oleh sebagian masyarakat
kita, namun ketambahan teknik-teknik baru yang lebih sesuai dengan teknologi
yang ada. Di lapangan bentuk-bentuk agroforestri tersebut sangatlah beragam,
diantaranya adalah agrisilvikultur.
Agrisilvikultur merupakan bagian dari agroforestri
dimana komponen yang terlibat didalamnya adalah komponen kehutanan (tanaman
berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian pada umumnya (serealia,
hortikultura,musiman,dll). Agrisilvikultur banyak dijumpai disekitar
perkampungan dekat hutan, atau hutan yang baru sjaa dibuka. Dulunya kita dengan
mudah menjumpai hal tersebut, namun sekarang jumlahnya sudah merosot drastis.
Hal ini dikarenakan oleh laju alih fungsi lahan kehutanan dan pertanian menjadi
perumahan yang sangat cepat. Sebagai upaya manusia tentu saja, agrisilvikultur
memiliki keunggulan dan kekurangan.
Keunggulan
agrisilvikultur adalah produktifitas
total agrisilvikultur jauh lebih tinggi dibandingkan monokultur, mengurangi
resiko kegagalan satu jenis tanaman karena akan dapat ditutup oleh keberhasilan
komponen lainnya, dapat menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi, baik
menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat
mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi
ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi
pada penanaman satu jenis (monokultur). Dampak kelanjutannya adalah dengan diversifikasi
yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, melepaskan petani dari
ketergantungan terhadap produk luar sehingga tidak memerlukan banyak input dari
luar. Selain itu, praktek agrisilvikutur yang memiliki diversitas dan
produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang
pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan)
pendapatan petani. Selain itu menurut Rossy Widayanti (2010) sistem agrisilvikultur
juga dapat digunakan untuk mengelola hutan secara lestari pada suatu
kawasan konsesi hak pengusahaan hutan sepanjang dalam kawasan hutan tersebut
sesuai dengan karakteristik suatu sistem Agrisilvikultur.
Menurut Moeliono (1987) dalam Yusnafi (2007) agroforestry termasuk
agrisilvikultur dapat mencegah dan mengurangi erosi tanah serta meningkatkan
kesempatan kerja. Sedangkan kekurangan dari sistem
agrisilvikultur adalah fokus petani dalam budidayanya berpencar, tidak menutup
kemungkinan memerlukan biaya masukan yang lebih tinggi dibanding monokultur,
perlu perencanaan yang lebih matang dan mantap mengingat semakin beragamnya
diversitas yang dilibatkan semakin besar kompetisi yang harus diperhitungkan.
2.Data
Data yang berhasil kami himpun
bersumber dari wawancara kami dengan petani (Bpk. Hasan/ P. Qom) yang
menerapkan Agrisilvikultur di dusun Manggis desa Sukorambi, Kabupate Jember. Agrisilvikultur
yang dikelola melibatkan tanaman sengon laut, mahoni, pisang, kopi, kelapa,
talas dan ketela pohon. Penjelasan selengkapnya terlampir pada lembar Skor
indikator keberlanjutan Sistem Pertanian berikut foto-fotonya.
3.
Pembahasan
Praktek budidaya
petani yang bernama P. Hasan/ P. Qom di Dusun manggis, Desa Sukorambi tercatat
sebagai salah satu upaya agrisilvikultur. Sebagai agrisilvikultur karena pada
penerapannya sudah melibatkan komponen tanaman woody plant (sengon laut,
mahoni, kelapa) dengan tanaman pangan seperti tanaman pisang, kopi, talas dan
ketela pohon. Agrisilvikultur tersebut bisa ditanam bersamaan ataupun bergiliran dalam suatu periode dan menciptakan suatu interaksi
ekologi, sosial, ekonomi. Agrisilvikultur tersebut sangat
berpotensi untuk dilanjutkan kearah sistem pertanian yang berkelanjutan dengan
perolehan skor 83. Hal ini karena pada intinya penerapan agrisilvikultur
memiliki tujuan untuk meningkatkan produktifitas lahan, kesempatan kerja,
pendapatan petani, dan juga upaya pelestarian sumber daya lingkungan seperti
air, tanah dan diversitas hayati.
Di Indonesia agroforestri sudah
ditawarkan sebagai salah satu sistem pertanian yang berkelanjutan. Namun dalam
pelaksanaannya dilapangan tidak jarang mengalami kegagalan, karena
pengelolaannya yang kurang tepat sebagaimana yang diutarakan oleh Mustofa Agung
Sardjono, dkk (2003). Selain itu pada
agroforestri tepatnya agrisilvikultur yang salah pengelolaan justru akan
menjadi faktor pembatas produksi. Berdasarkan penelitian SM Sitompul dan Djoko Purnomo (2004) pada
hasil tanaman sistem agroforestri lebih rendah dibandingkan sistem naungan
buatan. Perbedaan hasil tersebut disebabkan oleh minimnya pertimbangan akan
kompetisi air, unsur hara, zat inhibitor dan lainnya yang mungkin terjalin
diantara tanaman tersebut.
Ada
beberapa indikator yang harus dipenuhi bilamana suatu agrisilvikultur hendak
dikaitkan dengan sistem pertanian berkelanjutan. Indikator-indikator tersebut
diantaranya indikator aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Diharapkan dengan
terpenuhinya 3 indikator tersebut, suatu agrisilvikultur layak disebut untung
secara ekonomis, ramah secara ekologis, dan sejahtera secara sosial.
Tujuan dalam indikator ekonomis
adalah untung (profit yang optimal).
Agrisilvikultur P. Hasan yang menjadi objek kajian kali ini sudah dapat
digolongkan agrisilvikultur yang untung. Pada dasarnya fokus yang dibudidayakan
disini adalah sengon laut dan mahoni. Outcome awal yang diperlukan adalah
sekitar 500 ribu rupiah (biaya bibt lokal
+kuli tanam). Outcome lainnya sangatlah kecil karena lahan milik pribadi, digarap sendiri, dan tidak membutuhkan biaya perawatan. Sedangkan incomenya diprediksi Rp 12.000.000/5 tahun untuk sengon laut. Jika dihitung-hitung, pendapatan petani tersebut sekitar Rp 191.000/bulan. Angka yang cukup tinggi untuk luasan lahan yang hanya 200 mm2, dan hanya dijadikan sebgaai sumber pendapatan sampingan karena petani tersebut sudah memiliki pendapatan utamanya dari budidaya padi secara monokultur. Untuk mahoni belum pernah dilakukan pemanenan karena masih baru berusia 2 tahun. Untuk talas dapat menghasilkan sekitar 30 kg, dipasarkan dalam lingkup desa itu sendiri. Sedangkan untuk ketela pohon, kopi, pisang dan kelapa hanya dimanfaatkan secara subsisten untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri ataupun untuk keperluan antar tetangga bilamana sedang ada hajatan tertentu (kepentingan keluarga dan masyarakat disekitarnya).
+kuli tanam). Outcome lainnya sangatlah kecil karena lahan milik pribadi, digarap sendiri, dan tidak membutuhkan biaya perawatan. Sedangkan incomenya diprediksi Rp 12.000.000/5 tahun untuk sengon laut. Jika dihitung-hitung, pendapatan petani tersebut sekitar Rp 191.000/bulan. Angka yang cukup tinggi untuk luasan lahan yang hanya 200 mm2, dan hanya dijadikan sebgaai sumber pendapatan sampingan karena petani tersebut sudah memiliki pendapatan utamanya dari budidaya padi secara monokultur. Untuk mahoni belum pernah dilakukan pemanenan karena masih baru berusia 2 tahun. Untuk talas dapat menghasilkan sekitar 30 kg, dipasarkan dalam lingkup desa itu sendiri. Sedangkan untuk ketela pohon, kopi, pisang dan kelapa hanya dimanfaatkan secara subsisten untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri ataupun untuk keperluan antar tetangga bilamana sedang ada hajatan tertentu (kepentingan keluarga dan masyarakat disekitarnya).
Secara ekologis, agrisilvikultur
milik P. Hasan cukup ramah lingkungan. Penggunaan pupuk Urea hanya satu kali disaat awal tanam (1,5 bulan setelah tanam). Sumber air yang
dilibatkan berasal dari air hujan dan sungai yang mengalir disekitar lahannya.
Dapat dikategorikan membantu meningkatkan keragaman hayati, karena pada lahan
agrisilvikulturnya ditanam berbagai jenis tanaman yang memungkinkan terciptanya
suatu jaring-jaring makanan yang amat kompleks.
Masalah landscpape, menurut pengakuan dari pemiliknya tidak pernah
sekali saja merubahnya, semuanya itu murni dari lancsape lahannya yang memang
berteras-teras. Selain itu dalam prakteknya tidak diperlukan energi tambahan
seperti listrik dan lainnya karena memang masih bersifat sangat tradisional. Begitu
pula dengan benih sengon yang digunakan yang juga masih bersifat benih lokal
dan dipasok dari penjual benih secar getok-tular dar mulut ke mulut.
Ditinjau dari aspek sosial, minat
petani untuk mengusahakan lahannya cukup tinggi. Meskipun si petaninya sendiri
tidak terlalu memiliki kualitas pendidikan sampai pada tahap sarjana. Namun
setidaknya petani tersebut aktif dalam solodaritas petani setempat yang bernama
Sukorambi Jaya, buktinya adalah beliau dipercaya sebagai wakil dalam kelompok
tani tersebut. Menurut pengakuannya juga
kondisi pertanian disana cukup aman dengan indikator tidak pernah ada masalah
pencurian ataupun sengketa lahan. Selain itu respon maasyarakat ataupun
konsumen dari produk kayu yang dia kelola juga dapat dikategorikan positif,
dibuktikan dengan kerjasama yang harmonis antara beliau dengan pembeli kayunya.
Hal ini mengindikasikan kepuasan konsumen yang cukup tinggi.
Dari
uraian itu semua, agrisilvikutur tersebut sudah menunjukan kemajuan sempurna ke
arah keberlanjutan. Artinya agrisilvikultur tersebut memiliki modal yang
memadai untuk terus dikembangkan mendekati sistem pertanian berkelanjutan yang
lebih luas dengan tujuan akhir
masyarakat tidak lagi tergantung masukan komoditas pertanian dari luar
serta terciptanya kedaulatan pangan disekitar daerah tersebut dengan
pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya hayati yang ada, seperti diversivikasi
makanan, tidak hanya bergantung pada beras namun sudah mulai melibatkan talas
dan ketela pohon sebagai makanan pokok, pisang dan kelapa sebagai komponen
buah, serta mahoni dan sengon untuk kebutuhan papan keluarganya atau masyarakat
disekitarnya.
4.
Kesimpulan
Agrisilvikultur
adalah salah satu bagian dari agroforestri yang menggunakan lahan secara terpadu, mengkombinasikan tumbuhan berkayu dengan
tanaman pertanian sehingga terbentuk interaksi ekologis dan
ekonomis dan sosial antar berbagai komponen yang ada. Agrisilvikultur
yang menjadi objek kajian kali ini menunjukan kemajuan sempurna kearah
keberlanjutan.
5.Pustaka
Rossy Widayanti.2010.Agri-silvikultur dan Pesanggem di wilayah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH)
Ngawi, Saradan dan Lawu DS.Tesis.Progam Pasca Sarjana, Progam studi
Magister Manajemen Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”,
Surabaya.
Sardjono, Mustofa Agung
dkk,.2003.Klasifikasi dan Pola Kombinasi
Komponen Agroforestri Bahan Ajaran Agroforestry 2.Bogor:World Agroforestry
Centre (ICRAF).
SM Sitompul dan Djoko Purnomo.2004.Peningkatan
Kinerja Tanaman Jagung dan Kedelai pada Sistem Agroforestri Jati dengan
Pemupukan Nitrogen.Jurnal Agrosains Vol 6 (2) hal: 79-83, 2004
Yunasfi.2007.Sosial Forestry dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan.Sumatra
Utara:USU Repository.
bro nama aslix siapa, n judulx ini yg langkapx apa.? tolong d balas yah bro.
BalasHapus